BuruSergap86.com -- Jakarta,Obor Panjaitan,Berprofesi sebagai Jurnalis Nasional dan Ketua Umum Ikatan Pers Anti Rasuah (IPAR)Sebagai seorang warga negara yang juga berprofesi sebagai jurnalis senior nasional dan Ketua Umum Ikatan Pers Anti Rasuah (IPAR),
Saya merasa terpanggil untuk menyampaikan kritik tajam terhadap fenomena yang semakin merusak marwah pers Indonesia. Kritik ini ditujukan kepada insan-insan yang mengaku sebagai pers, tetapi tidak pernah mampu menulis berita secara layak,serta kepada Dewan Pers yang gagal menjalankan amanahnya.
Tulisan edukasi akademis ini terinspirasi oleh pernyataan-pernyataan retoris yang mencerminkan kegelisahan terhadap kondisi PERS saat ini, yang kemudian saya olah untuk menegaskan kaidah-kaidah kode etik jurnalistik,Informasi Berita nya Masuk ke Meja Redaksi Media Cyber Nasional Online Group,Pada hari Minggu(21/09/2025)
menjaga keseimbangan antara pondasi undang-undang dengan realitas lapangan,serta mengawal peran pers sebagai kontrol sosial di tengah berbagai tantangan seperti politik,ekonomi,keamanan, kesejahteraan,kesenjangan sosial, korupsi,birokrasi menyimpang, kriminalitas,geopolitik,pengaruh luar negeri,dan isu lingkungan.
Wartawan,Pilar Demokrasi yang Mulai Runtuh.
Profesi wartawan di Indonesia adalah amanah besar yang dijamin oleh*Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers*Undang-undang ini memberi ruang kemerdekaan, perlindungan hukum, dan mengokohkan pers sebagai pilar keempat demokrasi.Wartawan yang profesional diharapkan mampu menjadi penegak kebenaran, menyampaikan informasi yang akurat,dan cerdas mengawal transparansi serta akuntabilitas publik.
Namun,Amanah undang-undang itu tidak berjalan mulus.Kaidah *Kode Etik Jurnalistik*yang menuntut kebenaran, keadilan, dan independensi seringkali hanya tinggal teks,sementara praktik di lapangan memperlihatkan jurang antara ideal dan realita.Wartawan sering menghadapi tekanan dan konsekuensi dalam menjalankan tugasnya,terutama ketika meliput isu-isu sensitif atau mengkritisi kebijakan pejabat.
Mereka harus mampu menjaga independensi dan integritas agar tidak menjadi corong bagi pihak-pihak tertentu yang ingin mempengaruhi jurnalistik dalam membuat karya berita. Selain itu, wartawan juga harus mengedepankan kebenaran dan profesionalisme dalam setiap karya tulisnya.
Kunci utamanya adalah wartawan yang profesional harus berpegang pada kode etik jurnalistik yang menekankan kebenaran,keadilan, dan independensi.
Profesi wartawan membutuhkan keberanian untuk menyampaikan kebenaran meskipun sering menghadapi banyak tantangan. Dengan menjalankan tugas jurnalistik yang sesungguhnya, sebagai tugas mulia dan pilar negara,wartawan dapat memberikan kontribusi signifikan bagi masyarakat dan demokrasi.
Pertama Sebagai jurnalis,Saya tegas menyatakan bahwa kaidah-kaidah kode etik dan kepatutan dalam menjalankan perintah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 harus dijunjung tinggi sebagai pondasi berpikir.
Kedua,Seorang wartawan harus mampu menjaga keseimbangan antara pondasi berpikir tersebut dengan realitas dan implementasi sehari-hari, termasuk dalam menjalankan tugas jurnalistik itu sendiri.
Ini mencakup menjalankan peran dan fungsi kita sebagai insan praktisi media yang memang memiliki fungsi kontrol sosial, serta bagaimana melihat persoalan-persoalan di lapangan yang sangat luas ada faktor politik, ekonomi,keamanan, kesejahteraan,kesenjangan sosial, ketidakadilan,perilaku korupsi, perilaku menyimpang dari birokrasi,kriminalitas masyarakat,hingga menganalisis perkembangan geopolitik, pengaruh politik luar negeri, pengaruh negara asing terhadap nasional,dan isu lingkungan. Semua itu menjadi bagian dari kerangka berpikir yang harus dilihat dan dijalankan secara seimbang.
Fungsi Jurnalis Sejati: Karya atau Sekadar Kartu Pers?
Wartawan sejati adalah mereka yang mampu menulis,melahirkan karya, dan mengawal kepentingan publik.Entah dalam bentuk artikel, laporan investigasi,siaran televisi,radio,hingga platform digital, jurnalis dinilai dari karya tulisnya, bukan dari kartu pers yang digantung di leher.
Seorang jurnalis layak disebut jurnalis ketika sudah mampu mengembangkan dan menyusun hasil liputan menjadi sebuah karya tulis yang disebut artikel berita baik dituangkan dalam surat kabar,media digital,atau online. Banyak juga jurnalis yang mengembangkan dan merangkai kerangka liputannya dalam bentuk video,siaran televisi,radio, bahkan sekarang berkembang seiring perkembangan teknologi.
Kita ini jurnalis di mana dan apa saja tulisan kita? Apa saja branding dan spesialisasi kita? Ketika hanya melihat secara gambaran umum,ikut-ikutan menyebut tanpa menyasar satu segmen yang jelas,maka itu yang dimaksud dengan wartawan yang hilang jati dirinya.Ini tidak layak disebut seorang wartawan; ini hanyalah orang yang mengatasnamakan profesinya sebagai wartawan,tapi praktiknya adalah perusak dunia kewartawanan dan dunia pers itu sendiri.
Sayangnya,banyak yang sekadar mengaku wartawan,namun tanpa karya.“Pers abal-abal”ini lebih sibuk berburu amplop ketimbang berburu kebenaran.Fenomena “pers amplop” adalah racun yang merusak marwah jurnalistik, mengkhianati publik, dan mencemari nama pers sebagai kontrol sosial. Banyak wartawan tanpa karya tulis,jangankan menulis 10 paragraf, untuk 4 paragraf secara baik dan rapi pun banyak wartawan yang tidak mampu bukan karena tidak mampu,tapi karena tidak mau belajar. Inilah yang sering dikategorikan sebagai wartawan pinggiran, bahkan ada yang sekadar bertanya-tanya tanpa menghasilkan karya.
Dewan Pers: Lembaga yang Kehilangan Taji
Sejak reformasi,Dewan Pers dibentuk untuk mengawal kemerdekaan pers.Namun kenyataannya, kepemimpinan silih berganti, wajah berbeda, hasil tetap nihil. Mereka hadir bak sawah yang penuh ilalang:tidak terurus, tidak bertuan, dan tidak menghasilkan panen apa-apa. Gelar akademik,Status profesor, atau nama besar tokoh nasional yang melekat pada kursi Ketua Dewan Pers,tidak pernah berbanding lurus dengan terobosan pembaruan pers.
Alih-alih memberdayakan wartawan, Dewan Pers sibuk dengan barcode,verifikasi sepihak, dan perlakuan diskriminatif. Kritik keras sempat memuncak pada aksi penyegelan kantor Dewan Pers tahun 2017,yang menuntut agar lembaga ini tidak lagi hanya melayani kelompoknya sendiri dan berani membuka ruang pembaruan regulasi.
Sekilas info Terkini dan Terupdate Jabatan posisi Ketua Dewan Pers dari Masa ke Masa:
1. Atmakusumah Astraatmadja (2000–2003)
2. Sabam Leo Batubara (2003–2006)
3. Ichlasul Amal (2006–2010)
4. Bagir Manan (2010–2016)
5. Josef Adi Prasetyo (2016–2019)
6. Muhammad Nuh (2019–2022)
7. Ninik Rahayu (2022–2025)
8. Prof. Komaruddin Hidayat (2025–2028, mantan Rektor UIN)
Pergantian demi pergantian ini hanya mengukuhkan ironi: ketua silih berganti, tapi wajah pers Indonesia tetap gelap tanpa arah. Bahkan kini, di bawah kepemimpinan seorang profesor mantan rektor UIN,PUBLIK bertanya apakah akan ada terobosan nyata, atau sekadar melanjutkan pola lama: banyak janji, nihil karya?
Mengapa Dewan Pers tidak membuat terobosan baru perubahan tentang Pers? Misalnya,Seluruh organisasi profesi Pers seharusnya dapat dihimpun menjadi satu tujuan dalam melindungi kinerja profesi jurnalistik, bukan? Untuk apa hanya Dewan Pers yang disuntuni pemerintah padahal tidak punya kemampuan untuk mensejahterakan wartawan dan perusahaan pers? Apakah profesi pers hanya diperalat Dewan Pers untuk memperoleh santunan dari pemerintah saja? Sangat disayangkan, para wartawan selalu patuh pada aturan Dewan Pers, apalagi secara implisit hanya berpihak pada organisasi peliharaannya saja.
Bandingkan dengan profesi lain: Advokat didasarkan pada **UU Nomor 18 Tahun 2003**, Polri pada UU Nomor 2 Tahun 2002, TNI pada UU Nomor 34 Tahun 2004(diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2025). Mengapa wartawan tidak memiliki syarat ketat serupa?
Membandingkan dengan Dunia Internasional Lainnya.
- Inggris: Press Council memiliki mekanisme pengaduan publik yang terbuka dan tegas.
- Afrika Selatan: Press Ombudsman cepat, sederhana, dan benar-benar menjadi jembatan antara media dan masyarakat.
- Australia: Komisi pengaduan pers memberi sanksi moral yang berat pada media pelanggar.
Di Indonesia? Dewan Pers justru sibuk mengurus legitimasi formal, sementara kesejahteraan wartawan dibiarkan tercecer.
Jalan Pembaruan: Seleksi Jurnalis dan Tugas Dewan Pers
Profesi lain memiliki syarat ketat: TNI melalui seleksi berat,advokat harus lulus ujian profesi,dokter wajib punya izin praktik. Mengapa wartawan tidak? Tidak semua orang yang membawa kartu pers layak disebut wartawan. Dewan Pers semestinya:
- Menyusun seleksi terukur bagi jurnalis.
- Membina dan mengawasi media agar tidak jadi alat pemerasan.
- Memperjuangkan kesejahteraan wartawan, bukan sekadar status kelembagaan.
- Membuat terobosan regulasi baru yang relevan dengan era digital.
Akhir Kata dan Refleksi
Profesi wartawan adalah profesi keberanian. Berani menulis, berani mengungkap,berani melawan arus demi kebenaran. Tetapi selama Dewan Pers hanya menjadi ladang ilalang tanpa tuan, pers Indonesia akan terus mati suri dipenuhi wajah pejabat yang silih berganti,tanpa pernah meninggalkan karya pembaruan. Apakah Dewan Pers dengan ketua barunya,Prof.Komaruddin Hidayat,akan berani menyalakan obor perubahan,atau hanya akan menambah daftar panjang ketua tanpa karya?
Salam Keadilan,Salam Jurnalis!
NaraSumber:Obor Panjaitan, Jurnalis Nasional dan Ketua Umum Ikatan Pers Anti Rasuah (IPAR).
Liputan:*Tim Redaksi Media-C45T*